Kuburan Keramat | Cerpen Mochtar Lubis

Daftar Isi

Catatan Redaksi: Cerpen ini pernah terbit di Majalah Horison Edisi 01 Tahun 1966. Majalah Horison saat ini dalam domain publik.

Ilustrasi Cerpen Kuburan Keramat
Ilustrasi Cerpen Kuburan Keramat. (ChatGPT Image)

Telah seminggu lamanya orang di kampung jadi heboh. Orang tua-tua yang pandai-pandai, guru-guru desa, Pak Lurah dan pembantu-pembantunya, semua ibu-ibu, dan juga orang-orang muda, malahan kanak-kanak pun tak henti-hentinya membicarakannya.

“Nista benar,” kata Haji Engkos.

“Amat memalukan,” sahut Pak Lurah.

“Murtad,” kata Haji Abdullah, sambil menggoyang-goyang tongkat kayu besi nya ke atas. Dan janggutnya yang panjang dan putih tergoncang pula penuh amarah. Air mata menggenang di matanya yang telah tua dan agak kabur.

“Satu hinaan terhadap agama kita tak kurang dari satu hinaan.”

Haji Engkos membenarkan, mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Orang kafir dan munafik, yang berani mengaku mereka adalah orang Islam modern. Penipu dan pembohong,” Haji Abdullah tua berseru, sambil memukul meja amat keras dengan tongkatnya.

Pak Lurah terlompat, agak terkejut. 

“Dan aku akan kehilangan pekerjaanku,” ratap Pak Kentong. Suaranya mengandung rasa putus asa dan kebingungan yang besar. 

“Dan desa kita akan kehilangan daya penariknya yang amat besar,” kata Pak Lurah dengan sedih. 

“Rakyat desa-desa lain akan tak lagi mau datang kemari, dan kita akan rugi banyak,” seru Pak Kecil, tukang warung di desa. 

“Celaka, celaka,” Pak Lurah mengomel sedih. 

“Dan kalian sudah melihat bagaimana mereka menanam pohon-pohon Nasrani di sekeliling tempat mereka hendak membangun masjid mereka?” tanya Pak Kecil dengan suara gemetar.

“Orang-orang kafir yang terkutuk,” kata Haji Engkos gusar.

“Engkau tahu, mereka hendak memindahkan kuburan keramat dari puncak bukit?” bisik si Amat kecil, anak Pak Lurah, kepada kawannya Anja. “Kata ayah, bahwa mereka hendak membongkar kuburan keramat, dan memindahkan tulang-belulang Kiai Haji Maulana Arabi.”

“Aduh, beraninya, mengapa?” tanya Anja kecil, agak takut.

“Kata ayah mereka akan membangun sebuah masjid di puncak bukit,” Amat kecil merasa dirinya penting.

Beberapa kanak-kanak lain datang. Juga beberapa orang-orang muda datang mendengarkan Amat kecil. Amat merasa dirinya jadi lebih penting lagi. 

“Kata ayah mereka telah membeli ketiga bukit itu dan sepotong tanah yang luas di pinggir sungai. Kata ayah mereka hendak mendirikan sebuah pesantren modern. Di sana nanti tidak saja membaca Qur’an yang akan diajarkan, akan tetapi juga pengetahuan modern.”

“Apa itu pengetahuan moderen?” seorang bertanya.

Amat kecil diam, agak malu.

“Uh, aku tak tahu,” katanya kemudian enggan. Merasa tak senang ditanya demikian sulit.

“Tapi aku tahu,” katanya kemudian dengan bangga, “mereka hendak membongkar kuburan keramat dan memindahkannya dari puncak bukit. Mereka akan membangun sebuah masjid di sana.”

“Aduh, itu bahaya sekali,” seru seorang muda”, mau mati mereka apa?”

“Mereka tak tahu itu kuburan keramat?” tanya yang lain dengan heran.

“Barangkali mereka belum pernah mendengar cerita tentang orang kulit putih yang tak mau percaya bahwa itu adalah kuburan keramat, dan telah menghina kuburan dengan meletakkan sepatunya ke atas batu nisan. Dia akan mati beberapa hari kemudian,” Amat kecil bercerita.

“Dan Hamzal tua yang mengangkat sumpah palsu di kuburan keramat dan terus mati kejang?” kata Anja.

“Dan kejadian-kejadian mukjizat yang dilakukan kuburan keramat yang lain?” kata seorang lain pula.

“Aduh, ibuku sendiri pergi ke sana dan minta rahmat, dan seminggu kemudian nenek meninggal, dan ibu mendapat warisan sawah yang luas,” seorang bercerita.

“Kalian kan ingat Siti Aisah,” kata seorang muda, “dia telah kawin dengan Pak Haji Engkos selama lima tahun dan tak juga dapat anak. Dan Haji Engkos katanya hendak menceraikannya karena itu. Lalu Aisah pergi ke kuburan keramat dan minta diberi bayi. Setahun kemudian dia lalu melahirkan bayi, bukan?”

“Dan barangkali, jika kuburan keramat mereka bongkar, tidakkah desa kita akan dapat celaka?” tanya Amat kecil dengan gagah.

Tiba-tiba pertanyaan Amat kecil menimbulkan rasa takut dalam hati mereka. Ada yang sampai merasa gemetar memikirkan betapa celakanya jika kuburan keramat jadi dibongkar. Tidak, tidak, bisik mereka dalam hati, kuburan keramat tak boleh dibongkar.

Ibu-ibu dan wanita-wanita di desa lebih-lebih lagi heboh karena kabar tentang pembongkaran kuburan keramat. Jika kuburan keramat dipindahkan, tidakkah kekeramatannya dan kekuatan gaibnya hilang? Lalu ke mana lagi mereka akan dapat pergi untuk minta tolong? Untuk melaksanakan harapan-harapan dan mimpi-mimpi mereka? Ke mana akan minta tolong untuk mengikat suami yang nakal? Atau merebut cinta anak muda? Untuk minta suami, minta bayi, minta hujan turun, minta panen yang baik, minta anak sakit jadi sembuh, minta orang gila jadi waras, minta obat hati sakit?

Selama mereka ingat, kuburan keramat  telah ada di sana, dengan atapnya dari kain kuning, dan telah dipelihara turun-temurun oleh keluarga Pak Kentong. Bagi mereka dan bagi seluruh desa, kuburan keramat merupakan pula lambang dari keabadian hidup desa mereka sendiri.

Bukan, bukan lambang saja, akan tetapi tak ubahnya seakan sauh, tempat kapal hidup desa mereka tertambat dengan amannya jika dilanda oleh keadaan yang gawat. Seperti Ketika pecah bahaya pes di daerah mereka, berkat sajen-sajen dan doa-doa mereka di kuburan keramat, desa mereka telah luput dari serangan pes. Demikian pula Ketika Gunung api Meletus entah tujuh puluh tahun lalu, kuburan keramatlah yang menyelamatkan desa mereka. Juga Ketika wabah kolera mengamuk sesudah habis perang dunia pertama, kuburan keramat tetap melindungi desa mereka. Kuburan keramat adalah Sebagian hidup mereka. Kuburan keramat memberi arti pada hidup mereka. Menyenangkan hati mereka, memberi kekuatan pada mereka, memberi harapan dan mimpi-mimpi.

Dan kini orang tak dikenal datang dan hendak membongkar dan memindahkan kuburan keramat mereka. 

Tidak! Seribu kali tidak! Seru orang kampung dalam hati mereka. Lebih baik mati dari membiarkan kuburan keramat mereka dibongkar dan dinodai.

Dalam sebuah rapat antara Pak Lurah dengan orang-orang tua di kampung juga telah diambil sikap yang serupa. Mereka mesti melawan, dengan segala kekuatan yang ada pada mereka. Mereka mesti mencegah kuburan keramat mereka dibongkar.

Mereka memutuskan untuk mengirim Pak Lurah dan Pak Haji Engkos, dua orang tertua di desa, dan yang dianggap paling bijaksana pula, pergi berunding dengan orang baru datang itu.

Pada hari yang telah ditetapkan Pak Lurah dan Haji Engkos tua dengan susah payah mendaki bukit, yang terletak di luar desa, untuk bertemu dengan Sanusi, orang muda, yang menjadi pemimpin pesantren modern. Sanusi masih muda. Umurnya baru tiga puluh tahun atau paling tua tiga puluh enam. Ketika Pak Lurah dan Haji Engkos tiba di puncak bukit, tempat kuburan keramat , mereka melihat Sanusi sedang mengawasi penanaman pohon-pohon Nasrani. Mereka berseru, berteriak menabiknya dengan suara yang agak marah, akan tetapi karena napas mereka sendiri masih sesak habis mendaki bukit, dan karena ribut mesin traktor yang mendorong tanah ke bawah bukit, Sanusi tak mendengar teriak mereka.

Sanusi baru mengangkat kepalanya, agak terkejut ketika Pak Lurah dan Haji Engkos telah berdiri di sebelahnya dan menegurnya.

“Assalamualaikum!”

Sanusi berpaling pada mereka, agak terkejut.

Pak Lurah dan Haji Engkos merasa senang melihat Sanusi terkejut. Bagi mereka ini tak lain sebuah tanda, bahwa Sanusi merasa dirinya berdosa.

“Kami datang, untuk berunding dengan tuan tentang kuburan keramat. Kami jadi utusan semua orang desa, dan kami datang dengan maksud damai,” kata Pak Lurah dengan suara yang resmi, dengan sikap yang sopan sekali.

Sanusi meluruskan badannya, menghapuskan tangannya ke sisi celananya yang berwarna biru tua, dan dia mengulurkan tangan bersalaman.

“Waalaikumsalam,” katanya, dan dia pun meniru laku mereka yang santun itu. “Aku pun gembira bapak-bapak datang dengan maksud damai, dan untuk berunding. Kami pun juga mau berunding, dan menjelaskan kepada penduduk desa tentang tujuan-tujuan dan pikiran-pikiran kami. Apalagi kepada pemimpin-pemimpin desa yang begini bijaksana seperti bapak berdua, kami mengharapkan sangat bantuan dan nasehat. Kami pun mau damai dan kerja sama dengan rakyat desa.

Sanusi mengajak Pak Lurah dan Haji Engkos tua ke sebuah pondok tuanya dan keramatnya kuburan itu. Kuburan dibangun dari batu-batu kali berwarna kelabu tua kehitaman, yang telah ditumbuhi lumut berwarna hijau muda. Dan lumut yang tumbuh menutupi batu-batu tambah menimbulkan kesan betapa tua dan keramatnya kuburan. Alangkah hebatnya kekuasaan gaib dan besarnya kekeramatannya.

Di atas kuburan terpasang atap dari kain kuning, yang digantung di atas tiang kayu yang telah diukir dan seluruhnya ini kemudian dilindungi lagi dari hujan dan panas oleh sebuah atap, yang terpasang di atas tiang-tiang kayu besar, yang diukir lebih bagus lagi. Sajian-sajian terdiri dari telur, bunga melati, bunga mawar dan kenanga memenuhi kuburan, berserak-serak, sedang tempat-tempat kemenyan mengepulkan asap tak henti-hentinya. Di luar tempat kuburan tumbuh sebuah pohon kamboja yang besar dan tua. Dan ke batangnya diikatkan tiga ekor kambing yang diberikan sebagai korban oleh seorang haji kaya dari desa lain. Ayam-ayam hidup juga diantarkan orang ke kuburan keramat, akan tetapi tinggal di sana hanya beberapa hari saja. Tak lama kemudian lalu masuk ke dalam periuk di dapur Ibu Kentong dan haji-haji lain di desa. Mereka telah mengadakan cara pembagian yang adil dari sajen-sajen yang diantarkan ke kuburan keramat, kambing, ayam, uang perak dan tembaga, uang kertas, potongan-potongan kain dan sebagainya.

Pak Kentong sendiri bersila seperti biasa di samping kuburan keramat, dengan tekunnya membaca Al Qur’an, menjalankan tugasnya yang keramat, yang diwarisinya dari ayahnya, seperti ayahnya mewarisinya dari ayahnya, dan demikian seterusnya.

Melihat kuburan keramat mereka yang indah itu, hati Pak Lurah dan Haji Engkos tua tambah bertekad untuk membela kuburan keramat mereka, apa juga yang akan terjadi. Dengan menghela napas Panjang, mereka berpaling mengikuti Sanusi. Di dalam pondok ada beberapa meja dan kursi. Di atas meja terletak kertas-kertas putih besar dengan rencana-rencana gambar rumah dan gedung, jalan-jalan dan pohon-pohon. Sanusi membersihkan sebuah meja, menyusun kursi-kursi, dan menyilakan kedua tamunya yang kini bermuka keras untuk duduk.

Kemudian dia sendiri duduk, dan dengan santun menawarkan rokok kepada tamu-tamunya. Akan tetapi Pak Lurah dan Haji Engkos menolak dengan hormat. Mereka berpikir tak patut mereka merokok rokok yang diberikan seorang musuh. 

Tetapi mereka menolak dengan santun juga, dan berkata, bahwa mereka tak bisa merokok rokok bikinan kota besar, dan lebih suka merokok rokok kawung mereka.

“Atas nama semua rakyat yang baik di desa Cikoneng,” kata Pak Lurah, “kami datang kemari untuk meminta dengan bersungguh-sungguh kepada tuan supaya jangan sampai membongkar kuburan keramat. Perbuatan tuan itu akan memarahkan ruh keramat Kiai Haji Maulana arabi, dan pasti akan membawa celaka dan bencana kepada desa dan penduduk desa kami, dan juga pada diri tuan, dan semua keluarga dan kawan tuan yang tak berdosa. Demikianlah bicara saya.”

“Saya sudah mendengar bicara Pak Lurah. Terima kasih saya ucapkan,” balas Sanusi penuh hormat pula, “ akan tetapi sukakah bapak menceritakan sedikit tentang kuburan keramat ini.”

“Ahem, ahem,” Haji Engkos menggosok-gosok kerongkongannya. Ini kemahirannya yang khusus. Dia tahu benar sejarah kuburan keramat, dan akan diceritakannya kepada anak muda yang kurang ajar ini, yang datang membawa pikiran-pikiran modern ke desanya.

“Ceritanya Panjang sekali,” kata Haji Engkos, penuh kesadaran penting dirinya. “Kuburan amat tuanya, hingga tak seorang juga yang hidup kini di desa dapat ingat apabila kuburan itu digali di puncak bukit dulu untuk menguburkan Kiai Haji Maulana Arabi. Ratusan tahun yang lalu. Dulu-dulu sekali. Sebelum Gunung Krakatau Meletus. Sebelum Pangeran Diponegoro. Sebelum kompeni datang. Masih di zaman orang Jawa belum beragama Islam. Seorang keramat datang ke pulau Jawa dari negeri Arab – Kiai Haji Maulana Arabi. Tetapi orang di Jawa tak mau percaya pada ajaran-ajaran agama Islamnya, dan selalu meminta supaya dia membuktikan tentang adanya Tuhan yang Maha Kuasa, dan tentang kekuatan-kekuatan yang ada pada Tuhan. Tahulah, bahwa di zaman itu air sungai kami masih jernih sekali. Akan tetapi pada suatu hari, ketika orang desa menuntut supaya dia membuktikan kekuasaan Tuhan, maka Haji Maulana mendoa kepada Tuhan meminta supaya Tuhan menguningkan air sungai untuk selama-lamanya, dan dengan demikian agar dapat menundukkan kesombongan hati orang kampung.

Dan tiba-tiba air sungai yang jernih lalu menjadi kuning, dan hingga sekarang air sungai tetap kuning dan desa kami pun harus berganti nama, jadi Cikuneng, air kuning. Dan akhirnya penduduk desa lalu bertobat, dan memeluk agama Islam. Haji Maulana juga melakukan hal-hal gaib lain berkat kekuasaan Tuhan. Dia pernah mendoakan agar hujan turun, ketika musim kemarau terlalu lama, dia pernah mendoakan seorang wanita yang mandul dapat beranak, dan dia dapat terbang ke Mekkah dengan memegang sorbannya, dan kembali lagi dalam sekejap mata saja. Semua binatang buas di hutan tak berani menyerang dirinya. Semua ular dan kalajengking tak mau menggigitnya. Begitulah keramatnya dia. Dan ketika dia wafat, maka satu hari lamanya jadi gelap. Demikianlah dia dikuburkan di atas puncak bukit, dan kuburannya tetap keramat sejak itu. Dan masih banyak lagi kejadian-kejaian gaib lain yang dibuat oleh kuburannya, seperti…”

Akan tetapi Sanusi mengangkat tangannya, tersenyum dan berkata.

“Terima kasih banyak Pak. Akan tetapi kami akan terpaksa juga membongkar kuburan keramat, akan tetapi kami akan membongkarnya dengan penuh khidmat dan hormat pada kekeramatannya, dan kami telah mendapat tempat yang baik untuk kuburan itu, lebih dekat ke desa dan ke penduduk desa. Dan lebih mudah bagi orang desa mendatanginya dan kini di puncak bukit.”

“Akan tetapi itu murtad, melanggar keramat. Dilarang oleh Qur’an membuka dan memindahkan kuburan,” kata Haji Engkos, sambil mengucapkan sesuatu dalam bahasa Arab.

Sanusi lalu membalas dengan mengucapkan sesuatu dalam bahasa Arab, dan mengatakan, bahwa tak ada tertulis dalam Qur’an larangan membongkar kuburan, keramat atau tidak.

“Tapi aku kurang percaya pada ucapanmu anak muda,” kata Haji Engkos, “meskipun engkau kelihatannya fasih berbahasa Arab dan hapal Qur’an serta hadits. Dan engkau tak serupa dengan anak-anak muda Islam yang biasa. Malahan engkau sampai mau menanam pohon Nasrani,” serunya dengan suara menang.

Muka Sanusi berubah jadi sungguh-sungguh. 

“Pohon-pohon Nasrani?” dia tertegun sebentar. “Oh, itu bukan pohon Nasrani, itu pohon cemara.”

“Bukan, dapat tuan namakan pohon cemara, akan tetapi yang sebenarnya itu adalah pohon Nasrani. Sering ditanam di halaman gereja dan dipakai oleh kaum Kristen untuk hari raya mereka.”

Sanusi menarik napas. Berdiri, dan pergi ke sebuah meja, dan mengambil sebuah buku. 

Dibukanya buku, dan diperlihatkannya kepada Haji tua dan Pak Lurah sebuah potret sebuah masjid yang besar dan indah yang dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang tinggi. “Lihatlah,” katanya, “ini potret sebuah masjid besar di Kairo. Dikelilingi oleh pohon-pohon cemara, bukan pohon Nasrani. Dan lihatlah ini,” dia membuka lembaran buku lain, “dan ini sebuah masjid di Libanon, juga dikelilingi pohon cemara, dan ini sebuah masjid di India, juga di halamannya ditanami pohon cemara, dan ini, dan ini,” dia membuka buku untuk mereka, “ini bukan pohon Nasrani, hanya pohon cemara. Bapak tidak bermaksud mengatakan, bahwa orang Mesir, Arab dan orang India beragama Islam itu semuanya adalah orang kafir, karena mereka menanam pohon cemara di halaman masjid mereka?”

“Baik, baiklah,” dia menggerutu, “baiklah kita namakan pohon cemara meskipun menurut penglihatanku pohon-pohon itu serupa saja dengan pohon Nasrani yang dipergunakan oleh orang Nasrani untuk merayakan Hari Natal mereka, dan saya tidak akan mau menanamnya di halaman masjid kami,” Haji Engkos melotot pada Sanusi.

Sanusi tersenyum saja, menutup buku, dan berkata, “Pak Haji dan Pak Lurah yang mulia. Kami datang kemari sebagai orang Muslimin yang baik. Kami hendak membangun sebuah pesantren yang baru. Kami akan mengajarkan tidak saja ajaran-ajaran agama Islam, akan tetapi juga ilmu pengetahuan yang modern. Kami hendak mendidik pemimpin-pemimpin agama tokoh baru, yang akan menjadi pemimpin agama di desa mereka. Mereka tidak saja harus menjadi pemimpin agama, akan tetapi juga harus menjadi pemimpin masyarakat. Mereka tidak lagi boleh mendapat nafkah dari pemberian-pemberian rakyat, akan tetapi mereka yang mesti membantu rakyat. Mereka mesti dapat memberi nasehat dan memimpin orang desa bagaimana dapat membesarkan panen, bagaimana membangun irigasi yang lebih baik, bagaimana memperbaiki ternak, bagaimana membangun kandang ayam yang lebih baik, dapur yang lebih baik, bagaimana memperbaiki Kesehatan desa, bagaimana hidup lebih baik dari kekayaan-kekayaan alam yang mengelilingi desa kita; bagaimana membuat dan mengancam barang-barang yang bagus dan berguna dari bambu, rotan dan bahan-bahan lain, bagaimana bekerja memakai tanah liat membuat pot, piring, mangkuk. Mereka mesti pandai memajukan kerajinan-kerajinan rakyat yang banyak kini telah dilupakan, kerajinan pandai emas, pandai besi; kami akan mendidik mereka agar cinta pada pohon-pohon, tanaman, bunga, buah dan sayur, burung dan binatang-binatang di dalam hutan, bunga-bunga anggrek dalam hutan, dan sayang pada hutan-hutan kita. Kami hendak mendidik mereka supaya mereka sadar, bahwa semua ini mesti dilakukan oleh rakyat desa sendiri, karena desa adalah landasan bangsa kita. Bangsa kita telah diberi rahmat Allah dapat hidup dalam taman yang hijau dan subur dan kita mesti memelihara warisan ini. Ini adalah kewajiban kita sebagai orang Islam.”

“Aduh, tuan berbicara amat fasih dan lancar, lidahmu seakan terpalut madu,” kata Haji Engkos dengan suara yang tegang, karena dia merasa tak dapat membantah ucapan-ucapan Sanusi, “jika tuan bermaksud baik-baik demikian, maka mengapa kalian hendak membongkar kuburan keramat kami…?”

“Karena kami hendak membangun masjid di sana, dan karena…” Sanusi dengan tajam menatap Haji Engkos tua, “kami hendak beribadah menurut ajaran agama yang sesungguhnya… kita mesti menyembah Tuhan, dan bukan patung ataupun kuburan-kuburan keramat… karena tidakkah Tuhan telah mengatakan. La tasjudu lis syamsi wala lil komari wasajadu lillah alladzi kholaqohunna in kuntum iyyahu ta’buduun – janganlah menyembah matahari dan bulan, sembahlah Aku, Tuhan yang telah menciptakan matahari dan bulan itu, jika engkau sesungguhnya menyembah Dia.”

Dihadapkan pada sabda Tuhan yang dikutip dari Qur’an ini, terpaksalah Haji Engkos tua dan Pak Lurah membisu. Sukar sekali membantah anak muda ini, pikir Haji tua. Akan tetapi dia tak mau menyerah dengan mudah.

“Baiklah,” katanya dengan enggan, “saya tidak dapat memaksa kalian membatalkan rencana kalian. Tanah ini telah kalian beli. Telah kalian beli secara jujur dan bayar dengan uang yang sah. Jika kalian tidak hendak mengindahkan perasaan orang desa, kami tidak memaksa tuan. Akan tetapi kami minta supaya pembongkaran dilakukan penuh khidmat dan penghormatan pada jenazah Maulana yang keramat. Sedikit tiga ekor kambing mesti dipotong untuk korban, doa-doa mesti dibacakan…”

“Ah… ya, saya setuju sekali,” Sanusi cepat membenarkan, “ alangkah baiknya jika bapak yang memimpinnya.”

Haji Engkos berpikir cepat. Dia berpendapat kedudukannya akan bertambah mulia, dan orang desa akan bertambah segan, seandainya dia yang memimpin upacara. Lalu dia mengangguk.

Mula-mula Pak Lurah dan Haji Engkos menemui bantahan dari orang desa, Ketika mereka mencoba membujuk orang desa supaya mau menerima kuburan keramat mereka akan dibongkar. Beberapa orang yang marah bermaksud hendak mempertahankan kuburan keramat dengan kekerasan. Hanya karena dia lebih lancar mengucapkan ayat-ayat Qur’an dan karena umurnya yang tua, tambah pula penjelasan Pak Lurah, bahwa secara hukum desa tak berhak atas tanah tempat kuburan keramat, yang menyebabkan akhirnya rakyat desa menyerah.

Demikianlah pada hari yang telah dipilih, seluruh rakyat desa mendaki bukit pergi ke kuburan keramat. Meskipun rasa takut dan rasa cemas belum hilang sama sekali, akan tetapi banyak orang, terutama kanak-kanak dan orang-orang muda yang merasa hari itu seakan hari pesta ria, terutama pula karena masak masakan yang telah mulai dimasak sejak pagi, jamu-jamuan yang disediakan oleh Sanusi. Di bawah pimpin Haji Engkos tua mereka mendoa di sekeliling kuburan. Kemudian tiga ekor kambing dipotong. Dengan tangan yang gemetar Pak Kentong membuka kain kuning atau kuburan. Dia tak berhenti-hentinya mendoa meminta perlindungan Kiai Haji Maulana Arabi. Sanusi menarik napas lega. Akan tetapi keempat anak muda yang kuat yang bertugas untuk menggali kuburan tak juga bergerak. Ketika tiba saatnya untuk membuka kuburan, mereka jadi takut. Mata mereka jadi bundar besar dan muka mereka jadi pucat.

Sanusi terpaksa mengambil sebuah sodok dan sambil mengucapkan – bismillahirrahmanirrahim – maka dia pun menekan sodok ke dalam tanah.

Semua orang menahan napas. Ruh keramat akan membalaskah kini?

Dan orang muda itu akan jatuh mati kejang kini? Sanusi menyodok sekali lagi, dan melemparkan sesodok tanah ke samping kuburan.

Tak ada juga yang terjadi. Kemudian seorang anak muda yang memegang sodok memberanikan diri, dan datang membantu Sanusi. Tak lama kemudian yang tiga orang lain datang pula ikut bekerja. Orang banyak mulai bernapas kembali. Akan tetapi tak ada bertemu sesuatu apapun juga.

“Galilah lebih dalam lagi,” kata Sanusi. Mereka menggali. Mereka menyodok. Mereka menggali. Akhirnya Sanusi terpaksa menyuruh mereka berhenti. Jelas sudah, bahwa kuburan itu kosong sama sekali.

Sanusi berkata dengan suara nyaring, “Kuburan ini kosong. Kuburan keramat itu omong kosong saja. Palsu.”

Pak Kentong pucat mukanya. Orang banyak terdiam keheranan.

“Tidak, tidak,” dia berseru membantah, “kuburan ini tidak kosong. Inilah bukti bahwa kuburan ini keramat, dan Kiai Maulana Arabi memiliki tenaga gaib yang luar biasa. Ruhnya telah marah, dan telah membawa pergi tulang-tulangnya agar jangan ada mata manusia yang dapat melihatnya. Kita kini mesti memotong seekor kerbau supaya rakyat desa kita selamat dari kemarahannya. Dan tuan mesti membelikan kerbaunya,” serunya kepada Sanusi, dan menunjuk Sanusi dengan jari telunjuknya yang penuh pendakwaan.

Seakan Sanusi yang bertanggungjawab mengenai kehilangan tengkorak Kiai Haji Maulana Arabi.

Sanusi berpikir cepat.

“Baiklah,” katanya kemudian, “Pak Haji mengatakan bahwa ruh Maulana keramat yang membawa pergi tulang belulangnya. Saya mengatakan, kuburan ini kosong dan palsu. Tetapi akan saya potong seekor kerbau. Akan tetapi hanya dua minggu setelah hari ini. Jika saya memang salah dan berdosa, tentu sesuatu yang buruk akan menimpa diri saya selama dua minggu itu, karena saya berani membongkar kuburan. Akan tetapi jika tak ada sesuatu terjadi dengan diriku, maka ini artinya kuburan memang kosong, tidak keramat dan palsu, dan Maulana itu tidak ada sama sekali.”

Orang banyak terdiam, takut mendengar Sanusi berbicara begitu berani. Mereka menyangka setiap saat dia akan jatuh mati, menjadi tanah, atau batu. Akan tetapi tak ada sesuatu yang terjadi.

Selama dua minggu berikutnya kawan-kawan Sanusi menjaganya baik-baik. Mereka tidak dapat membiarkan kakinya patah, atau dia jatuh sakit masuk angin, maupun luka sedikitpun juga. Seluruh rakyat desa menahan napas mereka, menunggu sesuatu yang hebat akan menimpa dirinya.

Kemudian dua minggu berlalu. Sanusi memerintahkan traktor untuk menghancurkan kuburan keramat.

Dan orang segera mulai membangun masjid.

Semingu kemudian, Ketika Sanusi sedang memimpin pekerjaan, anak Pak Lurah datang berlari, dan dengan napas terengah-engah mengajak Sanusi ke kampung. Pak Kentong, katanya, telah menggantung dirinya, dan kini telah mati. Sanusi berlari mengikuti anak Pak Lurah. Di depan rumah Pak Kentong telah banyak orang berkumpul dan ketika melihat Sanusi, mereka mulai mengomel marah padanya. Ini gara-gara dia, kata seorang. Sanusi melompat naik ke beranda dan terus masuk.

Pak Kentong dibaringkan di atas bale-bale. Semua orang-orang tua dan Pak Lurah telah hadir. Sanusi memegang urat nadi Pak Kentong dan meletakkan kupingnya ke dada Pak Kentong, masih berdetik.

“Dia belum mati,” katanya, dan terus menggerak-gerakkan tangan Pak Kentong, membantunya untuk bernapas kembali dengan kuat. Ada empat puluh lima menit lamanya dia bekerja, badannya telah basah keringat mengangkat dan menurunkan tangan Pak Kentong dan ketika Sanusi telah hampir habis harapan, barulah jantung Pak Kentong mulai memukul kembali. Mula-mula perlahan-lahan, bertambah lama bertambah kuat…

“Aaah!” semua orang dalam kamar mengembuskan napas besar, dan suara aaah, disambut pula sampai keluar rumah, menjalar ke seluruh kampung – satu kegaiban telah terjadi – orang mati hidup Kembali! “Keramat,” seseorang berkata.

Orang baru punya tenaga gaib untuk menghidupkan orang mati, kata orang lain dengan penuh takjub, separuh takut. Orang baru adalah orang keramat, tambah yang lain, cerita tentang orang baru meluas ke seluruh kampung, ditambah dan dibumbui.

Kemudian, Pak Kentong, setelah mencium tangan Sanusi, menerangkan kepada Sanusi bahwa dia telah mencoba membunuh diri, karena dia merasa hidupnya kosong dan tak berarti ketika dia jadi yakin, bahwa kuburan keramat, yang selama ini dijaganya hanyalah sebuah kuburan kosong belaka. Dia menarik napas Panjang. Cobalah ingatkan saya, kata Pak Kentong. Malahan ada beberapa guru agama yang muda-muda yang mengatakan saya ini orang tolol dan orang gila, yang kerjanya mengurus kuburan kosong. Dan Pak Kentong menangis di hadapan Sanusi.

Sanusi mencoba membujuknya dengan berkata, “Ah, Pak Kentong harus sabar. Sebenarnya juga bukan salahnya Pak Kentong kuburan itu kosong. Sama juga dengan memelihara manusia yang hidup. Umpamanya ada pemimpin rakyat yang pandai mempersona rakyat dengan pidato yang muluk-muluk, memberi janji-janji yang hebat-hebat kepada rakyat, akan tetapi ketika rakyat tahu bahwa pemimpin itu hanya berbohong belaka, perbuatannya lain dari perkataannya, maka rakyat tidak boleh bunuh diri, tetapi tinggalkan saja pemimpin-pemimpin palsu serupa itu. Sama juga dengan kuburan keramat. Jika kita sudah tahu, bahwa kuburan itu kosong, tak keramat sama sekali, dan palsu belaka, maka jangan kita yang bunuh diri, tetapi kita buang saja kuburan palsu itu. Dan mari kita mencari kebenaran yang sesungguhnya.”

“Ya, ya benar, tuan sungguh amat bijaksana. Kini tuan jadi orang keramat kami,” kata Pak Kentong, sambil mencium kembali tangan Sanusi. Sanusi merasa amat malu diperlakukan demikian oleh Pak Kentong. Mukanya jadi merah.

Dalam hari-hari yang menyusul Pak Kentong dengan rajin menceritakan bangunnya kembali dari pelukan maut, dan betapa keramatnya Pak Sanusi.

Dan beberapa minggu kemudian Sanusi dengan sia-sia memerotes datangnya lelaki dan wanita, tua dan muda, yang datang minta restu dan rahmatnya untuk memenuhi mimpi-mimpi, hasrat hati dan keinginan hati mereka. Saya bukan keramat. Saya bukan keramat. Akan tetapi tak seorang juga yang percaya padanya. Sebuah sentuhan tangannya ke atas kening, atau ke bagian badan yang sakit, ke perut wanita yang hamil yang minta anak lelaki, doanya untuk sebotol air dingin, itulah yang mereka minta. Tak seorang juga percaya pada bantahannya. Semakin dia membantah, semakin yakin orang bahwa dia keramat sungguh. Bekas air minumnya di gelas, bekas air cuci tangannya, bekas makanan di piringnya…

Rakyat desa kini kembali merasa bahagia dan di bawah perlindungan keramat yang gaib. Kini sauh mereka dalam penghidupan bukan lagi kuburan keramat, tetapi seorang keramat yang hidup.

Setiap malam Sanusi bertempur dalam batinnya dengan berbagai setan dan iblis yang datang masuk menggodanya. Memang engkau keramat. Memang engkau kuasa. Engkau maha kuasa, bisik mereka. Jangan ragu-ragu menang engkau keramat. Engkau berkuasa. Tak ada yang dapat menandingimu lagi di dunia ini. Apa lagi yang engkau ragu-ragukan? Tidaklah engkau lihat betapa rakyat itu menyerahkan nasib mereka ke dalam tanganmu? Betapa mereka amat percaya padamu? Segala katamu bagi mereka adalah kebenaran tertinggi. Ayuhlah…

Sambil dia masih melawan. Sanusi juga merasa satu perasaan yang aneh. Dia merasa tak senang dengan kedudukannya yang baru, akan tetapi dia juga merasa tertarik pada kekuasaan yang ada pada dirinya itu. Alangkah senangnya, katanya pada dirinya sendiri, menjadi orang yang maha kuasa…

Posting Komentar